Selasa, 17 Maret 2009

Intelejen dan Islam Radikal

Intelejen dan Islam Radikal

oleh : He-Man*


Setelah Soeharto memperoleh kekuasaan ia dihadapkan padakondisi ideologi Nasakom hasil binaan rezim lama masih kuat dan masih dianggap sebagai sebuah ancaman besar bagi rezim Karena itulah rezim orba kemudian mengeluarkan kebijakan ideologis untuk menanganinya. Kebijakan ideologis dan politis pada masa awal orba yang di tempuh adalah menghancurkan kaum komunis, menekan kaum nasionalis, dan mencegah naiknya kekuatan islam.

Setelah kekuatan komunis ditumpas habis, maka kekuatan kaum nasionalis seperti PNI dilumpuhkan dengan menempatkan Hadisubeno menyingkirkan Hardi yang kritis pada pemerintah. Motor utama untuk melaksanakan kebijakan ideologis orba ini diserahkan kepada aparat intelejen

Dan setelah berhasil menuntaskan kebijakan terhadap kaum komunis dan nasionalis. Maka target selanjutnya diarahkan pada kelompok Islam. Kebijakan terhadap kelompok Islam terbilang unik dibandingkan dengan kebijakan terhadap kelompok komunis dan nasionalis. Walaupun tergabung dalam Nasakom tapi kelompok Islam memiliki peran dan jasa besar dalam menghancurkan kekuatan komunis dan meruntuhkan rezim Soekarno selain karena kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam.

Karena itu pemerintah memilih jalan yang lebih hati-hati untuk menghadapi kekuatan islam ini. Untuk mencegah naiknya kekuatan Islam maka pemerintah harus memiliki alasan dulu untuk menekankannya.Dan kemudian intelejen sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk melaksanakan ini kemudian memilih untuk menggunakan tangan kaum radikal Islam.

Kelompok radikal walaupun memang berbahaya tapi justru membuatnya menjadi sangat mudah dikendalikan. Psikologi kaum radikal adalah psikologi orang marah, seperti yang diketahui orang marah sangat kehilangan daya nalar kritis dan akal sehatnya, sehingga bila mereka liar akan sangat tidak terkontrol sebaliknya juga mereka menjadi sangat mudah dihasut dan dibohongi sehingga menjadikannya sebagai pion yang sangat ideal karena akan mengikuti apa saja kemauan penyuruhnya sekaligus bisa dikorbankan dengan sangat mudah.

Dan inilah yang disadari oleh Ali Moertopo sehingga ia kemudian merekrut para mantan anggota DI/TII yang sedang dibina oleh Kodam Siliwangi. Aksinya ini ditolak oleh Kepala Bakin pada masa itu Jenderal Sutopo Juwono juga petinggi Bakin lainnya seperti Jendral Nicklany (yang kemudian akhirnya di dubeskan), akan tetapi Ali Moertopo tetap pada pendiriannya dengan tetap membawa para mantan DI/TII ini ke Jakarta.


Beberapa pentolan DI/TII yang dibawa antara lain putra dari Kartosuwiryo yaitu Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmad Basuki, juga Adah Djaelani Tirtapraja (Ma'had Al Zaitun), Rahmat Basuki (tersangka pengeboman BCA), Amir Fatah, H Ismail Pranoto (Komando Jihad), Danu Muhammad Hasan, Helmy Aminuddin (Gerakan Tarbiyah) dll.


Tebar, Pancing dan Jaring

Karena tidak memperoleh dukungan dari para petinggi Bakin, Ali Moertopo pun membawa para mantan DI/TII ini dibawah pembinaan Opsus. Mereka kemudian mendapatkan fasilitas dan dukungan finansial yang sangat besar sehingga menimbulkan kemarahan sejumlah perwira ABRI pada masa itu terutama dari kalangan Siliwangi yang merasa berjasa menangkap mereka dengan susah payah bahkan bertaruh dengan nyawa.

Tapi berkat kedekatan Ali Moertopo pada Soeharto pada masa itu maka protes-protes itu berhasil diredam. Sejumlah perwira yang menentang proyek itu pun dengan segera dimutasi dan disingkirkan.

Ali Moertopo kemudian membina mereka dengan pelatihan-pelatihan intelejen, seperti pembentukan jaringan, teknik perekrutan anggota, penyamaran, pembuatan propaganda, operasi cuci otak, teknik teror dan intimidasi dan lain sebagainya (ini yang menjelaskan kenapa kelompok radikal sangat ahli dalam melakukan ini semua).

Setelah dibina mereka pun diterjunkan ke tengah masyarakat untuk menerapkan ilmunya. Dan peritiwa-peristiwa teror pun terjadi, pemboman BCA, penyerbuan kantor polisi di Cicendo, Wolya, Lampung, Borobudur dll, dimana semua peristiwa ini dilakukan oleh para mantan DI/TII binaan opsus.

Dan aparat pun menangkapi mereka lagi bahkan sebagiannya juga dikorbankan dan dibunuh. Tapi setelah tertangkap mereka kemudian dilepas lagi untuk melakukan aksi-aksi lainnya. Berkat peristiwa-peristiwa itu pemerintah mendapat legimitasi untuk menekan kelompok-kelompok Islam. Sejumlah aktivis masjid di Bandung ditangkapi bahkan organisasi remaja masjid di masjid Istiqamah yang pada waktu itu menjadi "Mekkah" nya aktivis muda islam pun dibubarkan dengan tuduhan terlibat peristiwa Cicendo dan Wolya yang dilakukan oleh jamaah Imron yang diprovokasi oleh Najamuddin seorang anggota intelejen binaan Bakin dari Batalyon Artileri Medan, sejumlah kyai NU di Jawa Timur ditangkapi bahkan dilenyapkan dengan tuduhan terlibat Komando Jihad yang dikomandani oleh Haji Ismail Pranoto binaan Opsus. Keterlibatan intelejen dalam kasus-kasus tersebut semakin kentara ketika dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan misalnya, ia mengaku sebagai orang Bakin. "Saya bukan pedagang atau petani, saya pembantu Bakin." (Lihat Tempo, 24 Desember 1983). Belakangan Danu mati secara misterius, tak lebih dari 24 jam setelah ia keluar penjara, dan konon ia mati diracun

Intelejen pun bergerak lebih jauh lagi untuk memprovokasi sejumlah kelompok melakukan perlawanan yang dengan segera ditumpas dengan kejam oleh militer. Peristiwa-peristiwa ini kemudian menjadi legimitasi bagi aparat untuk melakukan sensor dan pengawasan yang ketat pada aktivitas dakwah. Para da'i harus mempunyai surat izin untuk berceramah dan semua kegiatan dakwah harus dilaporkan dulu kepada aparat dengan alasan mencegah penyebaran paham radikal. Lalu pemerintah pun menetapkan kebijakan asas tunggal Pancasila dengan alasan untuk menekan penyebaran ideologi-ideologi yang menyimpang.

Sejumlah kelompok Islam yang menentang kebijakanini pun segera dibekukan, HMI kemudian terpecah menjadi dua dengan munculnya HMI MPO yang menolak asas tunggal, Pelajar Islam Indonesia (PII), BKPRMI dan beberapa ormas islam lain dibubarkan. Pemerintah juga mendirikan sejumlah organisasi islam baru pendukung asas tunggal yang rata-rata dibawah binaan Golkar. Dengan demikian semua kekuatan oposisi pemerintah dari kelompok Islam berhasil dilumpuhkan dengan metode tebar, pancing jaring hasil rekayasa Ali Moertopo.


Strategi Pecah Belah dan Kuasai

Paska turunnya L.B Moerdani strategi intelejen dalam menghadapi kekuatan Islam pun berubah. Teknik tebar, pancing, jaring ala Ali Moertopo mulai ditinggalkan karena justru malahan menambah instabilitas. Strategi yang kemudian dilakukan intelejen kemudian lebih soft bahkan dibuat seolah-olah pemerintah mendukung kekuatan Islam.

Pada masa itu gerakan-gerakan alternatif di luar ormas-ormas islam dan
kepemudaan islam mulai marak. Sejumlah organisasi remaja masjid tumbuh pesat di masjid-masjid raya juga masjid-masjid kampus. Sebagian kalangan aktivis muda mulai mengubah konsep dakwah mereka menjadi dakwah kultural dan berusaha membaurkan diri dengan masyarakat. Misal saja organisasi remaja masjid waktu itu aktif bergerak dengan sistim jemput bola pada remaja-remaja bermasalah seperti anggota gank motor, pecandu narkoba dll

Dan ini dianggap pemerintah sebagai sebuah ancaman baru. Salah satu point penting untuk menunjang kekuasaan rezim Soeharto adalah memastikan semua organisasi yang ada dan hidup di Indonesia berada dalam cengkraman dan kendali pemerintah. Bukan saja organisasi keagamaan atau politik tapi juga organisasi profesi seperti IDI atau organisasi para hobbies seperti RAPI pun dibawah kendali pemerintah dimana para pimpinannya tidak bisa naik kalau tidak mendapat 'restu' dari pemerintah.

Akan tetapi organisasi-organisasi remaja masjid juga majlis-majlis taklim yang tumbuh pada masa itu tidak demikian. Organisasi-organisasi itu bersifat independen dengan struktur organisasi yang cair. Akan tetapi pertumbuhan anggotanya sangat luar biasa.

Karena itulah semua organisasi dakwah "liar" itu harus segera dikontrol. Pendekatan awal pemerintah adalah berusaha menyatukan semua organisasi dakwah tersebut dalam sebuah organisasi atau perhimpunan formal dimana kemudian pemerintah bisa mengontrolnya melalui organisasi tersebut. Dan pemerintah pun merestui organisasi tersebut bahkan memfasilitasinya dengan menempatkan organisasi-organisasi tersebut untuk berkantor di masjid negara Istiqlal. Akan tetapi eksperimen ini gagal, para aktivis yang berusaha menjaga jarak dengan pemerintah menolak mengikuti gagasan tersebut.

Akan tetap intelejen kemudian memiliki pemikiran lain. Kekuatan dari kelompok-kelompok dakwah tersebut harus dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rezim, bagi kalangan intelejen bila tidak mampu menundukkan sebuah kekuatan/kelompok maka kekuatan/kelompok itu harus disusupi kemudian dimanfaatkan akan tetapi mereka harus dikebiri terlebih dahulu kekuatan untuk melumpuhkan potensi ancamannya. Kekuatan utama dari gerakan Islam pada dasarnya bukanlah pada banyaknya jumlah anggota mereka melainkan pada kedekatan mereka pada ummat dan ukhuwah mereka dengan kekuatan Islam yang lain. Dan dua aspek penting inilah yang menjadi target intelejen untuk dilumpuhkan. Kebijakan 'massa mengambang' adalah doktrin utama ideologi orba untuk mencegah sebuah kelompok terlalu dekat dengan masyarakat, semua kelompok harus berada dalam 'kotaknya' masing-masing.

Dan Bakin pun menugaskan Soeripto sebagai Ketua Tim Penanganan Masalah Khusus Kemahasiswaan DIKTI/Depdikbud pada tahun 1986-2000 dengan misi utama membentuk jaringan organisasi radikal Islam baru di kalangan remaja masjid dan gerakan kampus yang berada dibawah binaan dan pengawasan intelejen. Soeripto pria kelahiran 20 November 1936 ini merupakan kader Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan masuknya ia
dalam keanggotaan Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSos) pada tahun 1957. Ia kemudian bergabung oleh Kodam Siliwangi sebagai kader militer Sukarela pada tahun 1967 dan dibawah pembinaan Kharis Shuhud. Soeripto kemudian menjadi kader intel binaan Pangkowilhan (Wijoyo Suyono, Soerono dan Wahono), dan secara struktur dibawah komando Yoga Sugama di Bakin yang waktu itu dipimpin Sutopo Juwono. Sempat menduduki jabatan sebagai Kepala Staff Bakin dan Sekretaris Lembaga Studi Strategis/Wanhankamnas dan menjadi utusan khusus Pemerintah RI untuk normalisasi hubungan dengan RRC pada tahun 1981. Saat ini Soeripto memegang jabatan di DPP Partai Keadilan Sejahtera dan menjadi anggota DPR-RI asal partai ini dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan dengan nomor urut 1. Untuk menjalankan misinya Soeripto merekrut Helmy Aminuddin putra dari Danu Muhammad Hasan.

Helmi Aminuddin sebelumnya menjabat sebagai Mentri Luar Negri NII sebelum akhirnya ditangkap oleh Kopkamtib pada tahun 1980 dan ditahan tanpa pengadilan di Rumah Tahanan Militer di Cimanggis dan dibebaskan antara tahun 1983-1984. Pada masa itu ada rumus utama untuk menentukan aktivis binaan intelejen yaitu semua anggota ekstrim kanan yang dipenjarakan dan dibebaskan antara tahun 1970-1988 atau di masa kekuasaan Ali Moertopo dan L.B Moerdani dua jendral yang paling anti Islam dan gerakan Islam sudah pasti telah menjadi suruhan intel untuk menghancurkan gerakan Islam.

Selepasnya dari penjara Helmy Aminuddin yang saat ini menjabat sebagai Ketua Majlis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berada di bawah binaan Soeripto lalu kemudian dikirim ke Timur Tengah untuk mempelajari mengadopsi ajaran dan manhaj serta berhubungan langsung secara organisasional dengan gerakan Ikhwanul Muslimin faksi Qiyadah Syaikh Sa'id Hawwa pimpinan khwanul Muslimin cabang Suriah sekitar tahun 1985. Dimana sepulangnya dari sana dan dibawah dukungan Bakin di bawah komando Soeripto dibentuklah Jamaah Tarbiyah pada antara tahun 1987-1988 dengan doktrin utama dari pemikiran Sa'id Hawwa yang diterjemahkan menjadi beberapa seri buku Allah, Ar Rasul, Al Islam dan Jundullah dan diterbitkan oleh Al Ishlahy Press yang menjadi
bacaan wajib para kader inti gerakan.Helmy Aminuddin sendiri kemudian
menjadi Mursyid 'Aam Jama'ah Tarbiyah pada tahun 1991.

Dengan pembinaan dengan metode cuci otak maka secara instan kader-kader kelompok ini bisa dicetak dengan cepat. Untuk menunjang penyebaran ideologinya maka diterbitkanlah majalah Sabili pada tahun 1987 kemudian juga penerbitan Gema Insani Press yang menyebarluaskan paham radikal ini melalui media dan penerbitan buku-buku ideologis dengan harga yang sangat murah padahal dengan mutu cetakan yang cukup mewah karena mendapat subsidi. Majalah Sabili sendiri beredar secara luas walaupun tidak dilengkapi dengan SIUPP dan dijual dengan harga hanya 600 rupiah padahal dengan mutu kertas yang bagus plus nyaris tanpa iklan. Dan buku-buku terbitan GIP pada masa itu dijual dengan mulai harga 600-5500 rupiah saja (katalog tahun 1991) sehingga terjangkau oleh kantong pelajar dan mahasiswa bahkan akhirnya bersama penerbitan buku-buku sealiran yang lain, buku-buku harokah pun menggusur buku-buku islam yang lain.

Tujuan utama pembentukan kelompok ini oleh intelejen adalah menghancurkan dan melumpuhkan semua kelompok dakwah pemuda dan remaja masjid yang tidak berada dalam kontrol pemerintah lalu menyatukan semuanya dalam satu kelompok besar yang bisa dikendalikan aparat intelejen.Selain itu juga jama'ah tarbiyah juga diberi peran untuk memutus mata rantai hubungan kelompok-kelompok aktivis masjid dengan masyarakat juga dengan ormas islam lain.

Dan para aktivis dakwah masjid yang terbiasa dengan pola musyawarah dan penyeimbangan kekuatan tiba-tiba dikejutkan oleh aksi-aksi pengambil alihan khas intelejen dilakukan oleh aktivis jamaah tarbiyah seperti mobilisasi massa, black propaganda, penculikan aktivis, teror dan intimidasi dll seperti yang pernah terjadi di masjid Salman ITB pada tahun 1994 dimana kader-kader binaan intelejen yang dikenal dengan julukan "gerobak" singkatan dari Gerombolan Batak melakukan aksi pengambilalihan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.


Dan ketika berhasil mengambil alih kekuasaan kelompok ini kemudian langsung melakukan aksi-aksi pembersihan dan penyeragaman. Seluruh aktivis yang tidak mengikuti kelompok mereka disingkirkan. Semua aktivitas dakwah yang berhubungan dengan masyarakat luas dihentikan demikian juga semua bentuk hubungan dengan organisasi dakwah lain dibekukan. Aktivitas masjid hanya diarahkan untuk pembinaan internal demi mencetak sebanyak-banyaknya kader militan dan radikal di masjid.
Kelompok-kelompok diskusi dibubarkan dan metode pengkaderan digantikan dengan indoktrinisasi.

Semua aktivitas yang melibatkan partisipasi masyarakat luar dihentikan. Pembinaan pada kalangan luar masjid seperti kalangan remaja akhirnya menjadi hanya lembar sejarah lama. Hubungan silaturahmi dengan organisasi dakwah lain yang tidak 'sefikrah' dihentikan total.

Aktivis masjid pun seketika itu menjadi sebuah komunitas yang asing bagi masyarakat Isu-isu kemasyarakatan tidak lagi menjadi perhatian. Isu masalah jenggot pun menjadi sangat pentingnya sampai akhirnya menggusur isu mengenai kenakalan remaja, isu jilbab menjadi agenda yang menjadi prioritas utama mengalahkan isu penyalahgunaan narkoba.

Dalam hal hubungan dengan organisasi dakwah lain pun sontak mencapai titik terendah. Kajian jamaah tarbiyah yang disebarkan kepada anggotanya mengenai kelompok dakwah lain diarahkan untuk memberi citra negatif yang dipenuhi prasangka dan kecurigaan serta paham kebencian.

Maka dengan menggunakan tangan kelompok radikal akhirnya kekuatan aktivis masjid pun dilumpuhkan total. Dengan dilumpuhkannya kekuatan utama kelompok dakwah masjid ini maka aktivis dakwah masjid tidak lagi dianggap sebagai ancaman, maka tindakan represi terhadap kelompok ini pun dilonggarkan. Ketika sebuah masjid jatuh ke tangan radikal maka intelejen pun menghentikan operasi-operasi pengawasan yang ketat pada mereka. Itulah sebabnya aktivitas jama'ah tarbiyah tidak pernah mendapat gangguan dari aparat pada masa itu walaupun mereka menyebar paham radikal. Dengan dikuasainya masjid-masjid oleh kelompok radikal maka peristiwa pendudukan gedung DPR RI oleh gabungan massa dari berbagai ormas pemuda dan remaja islam seperti pada waktu penolakan RUU Perkawinan pun tidak perlu dikuatirkan lagi.

Ketaatan yang kuat di kalangan jama'ah tarbiyah dan kelompok radikal islam lainnya pada pucuk pimpinannya memudahkan pemerintah untuk mengawasi dan mengendalikan kelompok-kelompok ini, karena dengan cukup memegang kepalanya saja maka seluruh anggotanya akan tunduk dan patuh. Paham eksklusif kelompok radikal menjadi penentu sukses penggunaan metode "pecah belah dan kuasai" kelompok-kelompok Islam
dan memotong 'sayap' mereka sehingga tidak bisa lagi 'terbang' sehingga aktivis islam bagi pemerintah hanyalah sekelompok unggas saja.

Akan tetapi ada misi lain dari pembentukan kelompok radikal ini oleh intelejen. Yaitu sebagai media yang akan menyediakan "korban" dalam jumlah yang cukup besar. Operasi intelejen adalah operasi rahasia yang memerlukan bukan saja pengorbanan waktu, materi dan pikiran tapi juga nyawa. Para kader intelejen selalu merupakan kader terbaik di kesatuannya karena operasi intelejen hanya bisa dirancang dan dilaksanakan oleh personel-personel yang memiliki bukan saja kualitas teknik terbaik tapi juga bisa bersikap dan berpikir secara taktis dan strategis. Oleh karena itu terlalu mahal kalau harus mengorbankan kadernya sendiri. Maka intelejen pun selalu berusaha merekrut orang-orang di luar kalangannya untuk melakukan "pekerjaan kotor" mereka juga untuk "mencucikan baju kotor" mereka. Kalangan yang secara tradisional dimanfaatkan intelejen diantaranya para advonturir dan para tahanan dengan imbalan dan janji-janji tertentu. Inilah yang dilakukan sebelumnya pada para tahanan DI/TII yang diberi kebebasan, dana, pelatihan dan janji (yang seringkali bahkan selalu palsu) untuk mendukung perjuangan politik mereka.

Akan tetapi cara ini kemudian dianggap terlalu mahal dan "korban" yang tersedia terlalu sedikit sehingga dalam beberapa tahun saja atau beberapa kali operasi, orang yang dikorbankan menjadi tidak cukup. Dan berdasarkan pengalaman dalam sejumlah operasi intelejen dan kontra intelejen ke tubuh kelompok Islam maka ditemukan sesuatu hal yang menarik yaitu betapa bodohnya orang fanatik.

Dan orang fanatik pun menjadi korban yang paling sempurna untuk sebuah operasi intelejen. Para advonturir rata-rata selalu mencari keuntungan dalam menjalankan tugas dan mereka lebih dibutuhkan agar tetap hidup sebagai boneka atau tameng, sementara para mantan tahanan politik seringkali kadang bertindak diluar kontrol karena memiliki agenda tersendiri.

Syarat utama seorang pelaksana tugas lapangan intelejen adalah pertama mereka harus tau sesedikit mungkin bahkan lebih baik tidak tau sama sekali, yang kedua mereka bisa bahkan secara sukarela mau untuk dikorbankan nyawanya tanpa imbalan apapun. Karena bila ada sesuatu yang terjadi maka pihak intelejen bisa mencuci tangan dan sekaligus memiliki kambing hitam, bahkan seringkali dibutuhkan orang atau kelompok yang perlu dikorbankan nyawanya untuk menaikkan citra. Dan kaum fanatik menjadi kandidat paling sempurna. Mereka tidak dianggap terlalu berharga, terlalu bodoh dan tidak terlalu banyak bertanya, dan selalu rela mengorbankan diri dan nyawanya demi tujuan suci kelompoknya (yang bisa dengan mudah dibelokkan intelejen).

Atas alasan inilah pihak intelejen memfasilitasi dan mensponsori pembentukan kelompok radikal Islam ini dengan memafaatkan para mantan tahanan DI/TII yang merasa mereka memanfaatkan intelejen untuk mendukung cita-cita mereka. Para anggota level bawah kelompok radikal Islam ini dibuat untuk tidak banyak tau bahkan tidak tau apa-apa tentang apa dan bagaimana keadaan di atas mereka. Sampai artikel ini dibuat saya berani jamin hanya sangat sedikit anggota jama'ah tarbiyah bahkan yang sudah belasan tahun bergabung sekalipun yang tau bahwa Helmy Aminuddin adalah mursyid 'aam gerakan mereka dari tahun 1991-1998, apalagi untuk tau latar belakangnya.

Ketika seseorang telah didoktrin oleh jama'ah tarbiyah maka dengan serta merta ia pun kehilangan daya nalar dan pola pikir kritisnya. Yang ia tau hanya bertindak dan berbuat sesuai dengan keinginan kelompoknya dan berusaha mengapai tujuan kelompok dengan semua cara. Dan yang lebih menarik lagi adalah operasi cuci otak ini bisa dilakukan secara massal dan cepat dengan hasil yang maksimal.

Sehingga tidak heran kelompok radikal Islam Indonesia akhirnya memiliki ciri khas yang lain dari kelompok radikal islam di negara-negara lain terutama dalam hal hubungan mereka dengan militer dan intelejen. Kelompok-kelompok radikal islam timur tengah misalnya selalu berada dalam posisi vis a vis dengan militer dan intelejen. Sementara kelompok radikal Islam Indonesia justru sebaliknya, mereka justru bermesraan dengan militer dan intelejen.

Ditempatkannya mantan kepala staff Bakin menjadi pucuk pimpinan PKS sebuah partai yang didirikan jamaah tarbiyah dan kecenderungan pemihakan pada kandidat presiden dari militer memperlihatkan dengan jelas siapa sebenarnya mereka. Tapi sungguh disayangkan para pion ini tidak pernah sadar bahwa dirinya cuma pion.



---------------------------------------------------------------------------------------------

* Penulis adalah mantan Sekretaris II Badan Komunikasi Pemuda
Remaja Masjid Indonesia Wilayah Jawa Barat (2000-2003) dan
moderator mailing list wanita-muslimah@yahoogroups.com